Tuesday, October 24, 2017

Purwokerto, Aku Kembali Belajar Tentang Cinta


Aku hidup telah cukup lama. Setidaknya sekitar 21 tahun atau 1/3 + 1 tahun usia normal umat islam yang pernah disampaikan oleh para alim ulama yang berdakwah itu. Tepat pada 23.30 aku menuliskan cerita konyolku hari ini. Tentang cinta dan rindu serta perjuangan yang aku merasa tak dihargai walau hanya sedikit.
Kali ini aku belajar banyak tentang cinta, satu kata berjuta makna yang sering kugunakan saat mengungkapkan tinta hitam yang membekas di dalam hati. Satu kata yang juga memiliki arti kebalikan yang tak mungkin dipisahkan darinya. Adalah “jika kau berani jatuh cinta, maka berarti kau harus siap merasakan lara”. Setidaknya itu yang ada dalam otak dan membekas di sudut hatiku. Dan itu benar.
Adalah perjalananku ke sebuah kota di Indonesia yang sebelumnya pernah kujumpai walau dengan gaya santai tanpaada perencanaan. Dan kali ini berbeda dengan “kala itu”, karena ini terencana. Tepatnya adalah sebuah instansi yang tengah mekar dan naik daun di kalangannya. Instansi yang naik daun sejak 7 tahun lalu akibat tingkah laku penguasa tak bertanggung jawab yang berhasil mendidik mereka menjadi yang dikenang. Di instansi itulah aku belajar tentang cinta ini.
Satu, bahwa yang disebut dengan cinta adalah karakter. 
Aku selalu berkata hal yang sama kepada orang-orang yang ku-cinta-i itu bahwa, “cari yang mau(belajar), bukan yang mampu”. Dan ternyata di instansi ini aku mendapat pembenaran. Karena bahwa gelas yang berisi karakter itu akan dapat diisi skill tinggi yang mampu mengalahkan mereka yang mengisinya. jauh lebih baik daripada gelas yang terisi penuh (read: yang mampu). Dan di sini juga aku merasa benar jikalau aku selalu memilih mereka yang merasa sendiri dan tak terpegang, daripada mereka yang selalu terpegang dan tertanam di dalam jiwanya sebagai yang diutamakan.
Yap. Untuk mampu membangun suatu pondasi yang kokoh dalam suatu organisasi adalah dengan memanfaatkan mereka yang berkarakter. “Jujur itu ada dari dalam diri dan tak mungkin diciptakan dari luar.” Setidaknya itulah yang selalu membuatku percaya kepada mereka yang merasa “terasingkan” (read: minder).
Dua, bahwa pendidikan itu penting demi adanya “stabilitas”.
Aku adalah actor karbitan dalam serial drama cinta di Yogyakarta ini. Setidaknya 3 tahun yang lalu aku memulai karirku sebagai actor karbitan yang sebenarnya tidak terlalu mau belajar juga. Tapi entah, beberapa waktu lalu ada suara yang kembali memanggilku mengabdi pada nama yang memberiku luka mendalam itu.
Syukurilah, kalian yang pernah merasakan nikmatnya sebagai Staff (read: operasional), atau sebagai Junior (read: asisten). Kenapa? Jelas karena kalian bukanlah seorang karbitan sepertiku, kalian ada di jenjang yang tak kulalui dan kalian memiliki kompetensi dasar/pondasi yang jauh lebih kokoh dariku. Inilah hal kecil yang memaksaku menyesal telah melalui hal konyol akibat permasalahan ekonomi yang sebenarnya bias diatasi itu.
“andai aku bisa, aku akan kembali pada saat itu dan lebih berjuang. mungkin aku dapat lebih baik di titik ini”. Tapi waktu takkan mengizinkanku. Ia takkan mengizinkanku untuk kembali, karena memang sudah memastikan bahwa semua itu harus jadi penyesalan bagiku. 
Entah, saat ini aku merasa aneh dan gila, karena seolah tak mampu menjadi teman yang baik dalam mendampingi belajar. Jika menuntut ilmu dariku, jelas anda salah. Karena saya sampai saat ini (masih) buka orang berilmu. Saya hanya bisa mendampingi dalam pembelajaran karena memang ilmu itu telalu kompleks untuk saya kuasai.yang terpenting dalam hal ini adalah, “jika anda lelah, butuh bahu, jika anda bosan, butuh telinga sebagai pendengar, atau jika anda marah, butuh tempat mengadu, saya takkan pernah hilang”. Scroll saja kontak di handphone-mu dengan namaku, dan aku pasti akan menjadi semua itu untukmu. Karena bagiku, menjadi tempat bercurah lelah adalah bahagia.
Ketiga, belajar manajemen personalia kepada PMSM Yogyakarta.
Salah satu ilmu yang membuatku sangat tertarik untuk terus menyelam adalah psikologi. Ini seperti mendengarkan cerita hati orang lain, dan belajar memahami apa yang sebenarnya ada di dalam dirinya. Entah, tapi aku suka. Beberapa kali di sini disebut “generasi millennial” yang aku masih berlum terlalu paham akannya. Yang jelas, dia adalah “yang mengutamakan eksistensi diri (dikenal luas) daripada harta/materi”. Generasi unik yang entah seperti apa track recordnya kelak.
Keempat, kompetensi setiap jenjang adalah sama dan terukur. Jika terdapat yang lebih baik, maka dia unggul.
Apa maksudnya? Kau telah melewati pendidikan. Seharusnya kau memiliki ilmu yang seharusnya kau dapat di sana. Jika ilmu yang kau miliki melebihi dari itu, berarti kau unggul. Kau istimewa. Dan kau, tak layak untuk berhenti, apalagi mundur. Hal paling menyedihkan memang adalah mundur/pulang sebelum berperang. Dan aku tak ingin mengulangi kesalahan itu lagi. Karena apa? Karena kamu terlalu berharga untuk kutinggalkan
Ingat, syaratnya satu. Presiden takkan baik di mata seluruh rakyatnya, apalagi orang-orang sampah sepertiku. Pastikan kau mendukung yang kulakukan jika kau memang menggunakan hati dalam menentukan rindumu. Aku pasti akan berada pada waktu membuatmu kecewa, tapi buatlah aku tetap istimewa. Seperti saat pertama hatimu memilihku, dan bukan seperti saat aku seperti sampah di matamu.
“Jika kau masih tak percaya kau berharga, aku tak peduli. Yang terpenting adalah apa yang aku rasakan.”
Kelima, bahwa pendidikan adalah tentang memanfaatkan orang lain.
Kenapa tidak layak disebut begitu? Padahal jelas-jelas jika kau mendidik untuk membelajarkan adalah dengan melibatkan mereka yang haus akan ilmu. Itu adalah memanfaatkan. Karena pasti “jika kau beri tahu, dia akan lupa; jika kau tanya, mungkin dia akan ingat; tapi jika kau melibatkannya, pasti dia akan belajar.” Ilmu sesederhana itu jika kau meu mempelajarinya. Sederhananya adalah “kau mau mempelajarinya dengan kewajiban untuk mengamalkannya, atau tidak, dan berarti kau tak berbeda dengan batu.”
Keenam, bahwa cinta tak harus selalu bersama.
Malam terlalu gelap kala itu. Bintang tak terlihat dan justru butiran air yang datang mengunjungiku. Yang terpenting di sini adalah rasa kesendirianku. Tak ada satupun yang menemaniku walau angin malam begitu dingin. Dan itu memang sudah seperti biasanya, yang aku selalu sendiri. Aku pun tak suka jika terlalu ramai, itu terlalu hampa untuk yang tak jelas sepertiku.
Yap. Cintaku malam ini tak disisiku, walau dia tak terlalu jauh dari pandangan mataku. Tapi sakit yang kurasa tak seberapa karena aku sudah pernah merasakan yang lebih hancur dari itu. Cintaku mala mini berlalu dengan dia yang lain. Dengan dia yang aku tak pernah merasa lebih baik darinya. Setdaknya sampai detik ini.
Jadi, Kota Kecil Purwokerto mengajarkanku banyak hal hari ini. Apalagi tentang cinta. Yang dulu tak pernah menyentuhku setidaknya selama 2 tahun. Tapi di sini ada yang mengajarkanku untuk kembali mencinta. Walau dengan arti yang sedikit berbeda dari cinta yang dulu “pernah ada”.


23 Oct ‘17
#anaktanitepus

No comments:
Write comments

Tertarik dengan layanan kami?
Dapatkan selalu informasi terbaru !